Selasa, 29 Mei 2012


  SUKU TOGUTIL DI KEPULAUAN HALMAHERA

  Hal seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su’ud Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; "Enampuluh tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera". 
-       Asal-Usul Suku Togutil
Menurut Sosebeko, (2010), Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.

Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam.
Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan.
Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan mereka minum langsung dari sungai.
Perawakan suku Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada umumnya. Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan. Pola hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian, pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai.


-       Sistem Kepercayaan/agama
Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi bahangarama atau menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang, dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin arwah leluhur berada.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Togutil saat ini merupakan perpindahan dari sistim kepercayaan asli yang mulai ditinggalkan pada akhir tahun 1970an ketika masuknya penyebaran agama Kristen di daerah Lolobata sebagai wilayah dimana orang Togutil penghuni hutan Tututing awalnya tinggal. Pengenalan agama ini lebih meningkat lagi sejak adanya proyek pemukiman kembali masyarakat terasing pada tahun 1970.
-       Ritual Suku Togutil. 
Pada masyarakat Togutil, upacara yang sering dilakukan tidak meriah seperti layaknya upacara adat yang sering dilakukan masyarakat lainnya. Bagi mereka, yang utama adalah makna dari kegiatan tersebut. Ritual adat yang lazim dilakukan adalah ketika ada salah satu dari keluarga Suku Togutil yang meninggal dunia, Segala material tersebut ditinggalkan begitu saja. Hari itu salah satu anggota keluarga mereka ada yang meninggal. Menurut kepercayaan orang Togutil, jika ada anggota keluarga yang meninggal, tempat yang mereka huni selama ini harus ditinggalkan. Mereka harus mencari lokasi lain dan membangun hunian baru. “Tempat itu sudah tidak baik lagi dijadikan tempat bermukim mereka. Jadi, kalau ada yang meninggal, mereka harus berpindah tempat. Tak ada yang dibawa selain perlengkapan dapur. Sebelum beranjak, bangunan rumah tanpa jendela mereka sengaja dirobohkan. Dengan kondisi demikian, orang akan tahu jika di lokasi itu ada anggota kelompok yang meninggal. Secara bersama-sama, sekelompok kecil itu akan pindah dan membangun kembali hunian baru. Mereka kembali mencari bambu, kayu dan daun-daun rumbia di sekitar hutan untuk dijadikan rumah. Namun, perpindahan mereka tak jauh dari lokasi semula. “Mereka memang nomaden, tapi areanya tetap di wilayahnya
Satu lagi yang unik dari Suku Togutil adalah sistem perkawinan mereka. Adalah sah bagi seorang untuk menikahi atau dinikahi orangtuanya, dengan kondisi bukan orang tua kandung. Misalnya anak laki-laki ingin menikahi ibu tirinya, dengan seizin ayahnya, ia bisa melakukannya. Hal itu umum dilakukan di suku ini. Selain itu, poligami juga dibolehkan di suku ini
-       Asal-Usul Suku Togutil
Menurut Sosebeko, (2010), Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.

Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam.
Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan.
Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan mereka minum langsung dari sungai.
Perawakan suku Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada umumnya. Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan. Pola hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian, pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai.


-       Sistem Kepercayaan/agama
Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi bahangarama atau menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang, dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin arwah leluhur berada.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Togutil saat ini merupakan perpindahan dari sistim kepercayaan asli yang mulai ditinggalkan pada akhir tahun 1970an ketika masuknya penyebaran agama Kristen di daerah Lolobata sebagai wilayah dimana orang Togutil penghuni hutan Tututing awalnya tinggal. Pengenalan agama ini lebih meningkat lagi sejak adanya proyek pemukiman kembali masyarakat terasing pada tahun 1970.
-       Ritual Suku Togutil. 
Pada masyarakat Togutil, upacara yang sering dilakukan tidak meriah seperti layaknya upacara adat yang sering dilakukan masyarakat lainnya. Bagi mereka, yang utama adalah makna dari kegiatan tersebut. Ritual adat yang lazim dilakukan adalah ketika ada salah satu dari keluarga Suku Togutil yang meninggal dunia, Segala material tersebut ditinggalkan begitu saja. Hari itu salah satu anggota keluarga mereka ada yang meninggal. Menurut kepercayaan orang Togutil, jika ada anggota keluarga yang meninggal, tempat yang mereka huni selama ini harus ditinggalkan. Mereka harus mencari lokasi lain dan membangun hunian baru. “Tempat itu sudah tidak baik lagi dijadikan tempat bermukim mereka. Jadi, kalau ada yang meninggal, mereka harus berpindah tempat. Tak ada yang dibawa selain perlengkapan dapur. Sebelum beranjak, bangunan rumah tanpa jendela mereka sengaja dirobohkan. Dengan kondisi demikian, orang akan tahu jika di lokasi itu ada anggota kelompok yang meninggal. Secara bersama-sama, sekelompok kecil itu akan pindah dan membangun kembali hunian baru. Mereka kembali mencari bambu, kayu dan daun-daun rumbia di sekitar hutan untuk dijadikan rumah. Namun, perpindahan mereka tak jauh dari lokasi semula. “Mereka memang nomaden, tapi areanya tetap di wilayahnya
Satu lagi yang unik dari Suku Togutil adalah sistem perkawinan mereka. Adalah sah bagi seorang untuk menikahi atau dinikahi orangtuanya, dengan kondisi bukan orang tua kandung. Misalnya anak laki-laki ingin menikahi ibu tirinya, dengan seizin ayahnya, ia bisa melakukannya. Hal itu umum dilakukan di suku ini. Selain itu, poligami juga dibolehkan di suku ini
-        Struktur dan Ogranisasi Sosial
Orang-orang Togutil tak mengenal hierarki kepemimpinan. Pada kelompok-kelompoknya, mereka hanya menjadikan seseorang jadi panutan karena kepiawaian dan kecakapan mereka dalam berburu dan mengobati orang sakit. Suku Togutil mengenal ritual pengobatan yang dikenal dengan istilah maidu-idu yang berarti tidur. Dalam ritual ini, seorang perempuan dijadikan medium untuk mengetahui penyakit dan obat untuk si sakit. Caranya, perempuan tadi berbaring di atas tempat tidur, lalu ditutupi kain mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam posisi berbaring dan tertutup kain itu, tangan si perempuan akan mengetuk-ngetuk tempat tidur dengan irama tertentu.Irama ketukan tersebut lama kelamaan membuat si perempuan tadi kerasukan roh halus. “Dari situ dia bisa menyebutkan apa sebab seseorang itu sakit dan bagaimana cara pengobatannya.
Masyarakat suku yang hidup di dalam hutan ini masih menggunakan pakaian seadanya. Mereka hanya menyulap kulit kayu tertentu menjadi kain dan dijadikan cawat. Konflik antara kelompok pun jarang terjadi. Kalaupun ada,bukan karena alasan perebutan lahan untuk kekuasaan, karena suku Togutil tidak mengenal istilah kepala suku.
Jika terjadi konflik, pemicunya terkadang karena penculikan istri atau anak perempuan dari kelompok satu terhadap kelompok lainnya. Di beberapa wilayah yang dihuni orang-orang Togutil, hal semacam ini masih kerap terjadi. Karena itu, untuk menghindari penculikan terjadi, saat mereka pergi berburu, tak jarang seluruh keluarga mereka diajak serta, walaupun aktivitas perburuan hanya dilakukan kaum lelaki.
Konflik antarkelompok jarang terjadi, karena sesungguhnya dari kelompok-kelompok itu masih memiliki pertalian kekerabatan. Penghuni rimba di belahan utara dan selatan Halmahera ini kerap masih memiliki marga yang sama, pertanda mereka masih satu kerabat. “Kerja mereka setiap hari masuk ke hutan melintasi gunung-gunung. Itu sudah biasa. Jadi, jangan heran kalau hari ini mungkin menemukan mereka di Halmahera Timur, bulan depan kita temukan mereka di Halmahera Tengah.
3.2.1     Elemen-elemen Sistem Sosial
-       Mata Pencaharian

Ketergantungan mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden. Setelah persediaan umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan berpindah ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan Halmahera. Bagi masyarakat Togutil yang masih primitive, tidak mengenal sistem bercocok tanam dan menetap. Sehingga salah satu mata pencaharian andalan mereka adalah berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan sagu sebagai sumber karbohidratnya.
Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta tanaman tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka juga sudah dapat menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.
Saat ini sebagian merupakan petani (Togutil kategori Menetap) dan sebagian lagi masih tergantung pada hasil hutan meskipun telah mengenal sistim bercocok tanam (Togutil kategori Menetap sementara). Mata pencaharian tambahan adalah berburu binatang damar  maupun telur maleo untuk dijual atau ditukarkan dengan penduduk di kampung pada saat hari pasar.
Tingkat pendapatan penduduk berdasarkan hasil penelitian dilapangan sangat bervariasi yaitu antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Sumber penghasilan umumnya berasal penjualan hasil buruan atau hasil yang diperoleh dari hutan maupun dari hasil kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman atau satuan rumahnya. Pendapatan diatas 500.000 merupakan pendapatan masyarakat Togutil Menetap yang memiliki profesi sebagai petani kopra maupun usaha sampingan lainnya seperti pedagang dan tukang ojek.
-         Sistem Kekerabatan.
Orang-orang Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas. Mereka masih merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan saudara-saudara. Syafruddin yang tengah menempuh program magister Antropologi di Universitas Gajah Mada mengatakan, suku Togutil menganut paham patriarki. Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok suaminya.
Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa terjadi antara anggota keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada kelompok kecil ini, biasanya paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga (KK). Tapi, tak seluruhnya membangun rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK. Bahkan bisa tiga sampai empat KK. Sehingga satu kelompok hanya membangun sekitar tiga rumah sajaJalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam satu upacara makan bersama yang disebutmakkudotaka. Upacara dilakukan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Upacara ini dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali ataukah setahun sekali. Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B, ketika kelompok B mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau berbagai makanan enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak. Mereka harus menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi.

Kelompok A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk menyiapkan bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan belum juga terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. “Pokoknya sampai makanan itu tersedia, baru dilaksanakan,”. Saat itulah dua kelompok akan bertemu dan menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara kebersamaan dari para penghuni rimba Halmahera.
Kehidupan Orang Togutil sesungguhnya amat bersahaja. Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisangketelaubi jalarpepaya dan tebu

-        Struktur dan Ogranisasi Sosial
Orang-orang Togutil tak mengenal hierarki kepemimpinan. Pada kelompok-kelompoknya, mereka hanya menjadikan seseorang jadi panutan karena kepiawaian dan kecakapan mereka dalam berburu dan mengobati orang sakit. Suku Togutil mengenal ritual pengobatan yang dikenal dengan istilah maidu-idu yang berarti tidur. Dalam ritual ini, seorang perempuan dijadikan medium untuk mengetahui penyakit dan obat untuk si sakit. Caranya, perempuan tadi berbaring di atas tempat tidur, lalu ditutupi kain mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam posisi berbaring dan tertutup kain itu, tangan si perempuan akan mengetuk-ngetuk tempat tidur dengan irama tertentu.Irama ketukan tersebut lama kelamaan membuat si perempuan tadi kerasukan roh halus. “Dari situ dia bisa menyebutkan apa sebab seseorang itu sakit dan bagaimana cara pengobatannya.
Masyarakat suku yang hidup di dalam hutan ini masih menggunakan pakaian seadanya. Mereka hanya menyulap kulit kayu tertentu menjadi kain dan dijadikan cawat. Konflik antara kelompok pun jarang terjadi. Kalaupun ada,bukan karena alasan perebutan lahan untuk kekuasaan, karena suku Togutil tidak mengenal istilah kepala suku.
Jika terjadi konflik, pemicunya terkadang karena penculikan istri atau anak perempuan dari kelompok satu terhadap kelompok lainnya. Di beberapa wilayah yang dihuni orang-orang Togutil, hal semacam ini masih kerap terjadi. Karena itu, untuk menghindari penculikan terjadi, saat mereka pergi berburu, tak jarang seluruh keluarga mereka diajak serta, walaupun aktivitas perburuan hanya dilakukan kaum lelaki.
Konflik antarkelompok jarang terjadi, karena sesungguhnya dari kelompok-kelompok itu masih memiliki pertalian kekerabatan. Penghuni rimba di belahan utara dan selatan Halmahera ini kerap masih memiliki marga yang sama, pertanda mereka masih satu kerabat. “Kerja mereka setiap hari masuk ke hutan melintasi gunung-gunung. Itu sudah biasa. Jadi, jangan heran kalau hari ini mungkin menemukan mereka di Halmahera Timur, bulan depan kita temukan mereka di Halmahera Tengah.
3.2.1     Elemen-elemen Sistem Sosial
-       Mata Pencaharian

Ketergantungan mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden. Setelah persediaan umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan berpindah ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan Halmahera. Bagi masyarakat Togutil yang masih primitive, tidak mengenal sistem bercocok tanam dan menetap. Sehingga salah satu mata pencaharian andalan mereka adalah berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan sagu sebagai sumber karbohidratnya.
Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta tanaman tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka juga sudah dapat menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.
Saat ini sebagian merupakan petani (Togutil kategori Menetap) dan sebagian lagi masih tergantung pada hasil hutan meskipun telah mengenal sistim bercocok tanam (Togutil kategori Menetap sementara). Mata pencaharian tambahan adalah berburu binatang damar  maupun telur maleo untuk dijual atau ditukarkan dengan penduduk di kampung pada saat hari pasar.

Tingkat pendapatan penduduk berdasarkan hasil penelitian dilapangan sangat bervariasi yaitu antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Sumber penghasilan umumnya berasal penjualan hasil buruan atau hasil yang diperoleh dari hutan maupun dari hasil kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman atau satuan rumahnya. Pendapatan diatas 500.000 merupakan pendapatan masyarakat Togutil Menetap yang memiliki profesi sebagai petani kopra maupun usaha sampingan lainnya seperti pedagang dan tukang ojek.
-         Sistem Kekerabatan.
Orang-orang Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas. Mereka masih merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan saudara-saudara. Syafruddin yang tengah menempuh program magister Antropologi di Universitas Gajah Mada mengatakan, suku Togutil menganut paham patriarki. Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok suaminya.


 Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa terjadi antara anggota keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada kelompok kecil ini, biasanya paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga (KK). Tapi, tak seluruhnya membangun rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK. Bahkan bisa tiga sampai empat KK. Sehingga satu kelompok hanya membangun sekitar tiga rumah sajaJalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam satu upacara makan bersama yang disebutmakkudotaka. Upacara dilakukan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Upacara ini dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali ataukah setahun sekali. Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B, ketika kelompok B mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau berbagai makanan enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak. Mereka harus menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi.
Kelompok A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk menyiapkan bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan belum juga terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. “Pokoknya sampai makanan itu tersedia, baru dilaksanakan,”. Saat itulah dua kelompok akan bertemu dan menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara kebersamaan dari para penghuni rimba Halmahera.
Kehidupan Orang Togutil sesungguhnya amat bersahaja. Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisangketelaubi jalarpepaya dan tebu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar