SUKU TOGUTIL DI KEPULAUAN HALMAHERA
Hal seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su’ud
Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21
Agustus 2008 yang menyentil bahwa; "Enampuluh tiga tahun sudah kita
merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya
karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya
saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi
mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau
Halmahera".
- Asal-Usul
Suku Togutil
Menurut
Sosebeko, (2010), Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang
terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu
berlomba-lomba datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai
menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela
tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat sedang
melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir
Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan
menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya
yang tidak tercatat dalam sejarah.
Orang-orang
Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan
orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian
memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan
daerah Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah
Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang
bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam.
Sebagian dari
mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk menghilangkan
jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha
keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang
Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan
untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang
Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan.
Pada
perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara
berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap
berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera
Utara sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal
ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia
atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan menyantap makanan
mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan mereka
minum langsung dari sungai.
Perawakan suku
Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada umumnya.
Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung.
Anak-anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna
bening-keabuan. Pola hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam.
Makan dari buah-buahan, umbi-umbian, pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil
buruan binatang hutan dan ikan sungai.
-
Sistem
Kepercayaan/agama
Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan
leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah
para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi
bahangarama atau
menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang,
dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin
arwah leluhur berada.
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
Togutil saat ini merupakan perpindahan dari sistim kepercayaan asli yang mulai
ditinggalkan pada akhir tahun 1970an ketika masuknya penyebaran agama Kristen
di daerah Lolobata sebagai wilayah dimana orang Togutil penghuni hutan Tututing
awalnya tinggal. Pengenalan agama ini lebih meningkat lagi sejak adanya proyek
pemukiman kembali masyarakat terasing pada tahun 1970.
- Ritual Suku Togutil.
Pada masyarakat Togutil, upacara yang
sering dilakukan tidak meriah seperti layaknya upacara adat yang sering
dilakukan masyarakat lainnya. Bagi mereka, yang utama adalah makna dari
kegiatan tersebut. Ritual adat yang lazim dilakukan adalah ketika ada salah
satu dari keluarga Suku Togutil yang meninggal dunia, Segala material tersebut
ditinggalkan begitu saja. Hari itu salah satu anggota keluarga mereka ada yang
meninggal. Menurut kepercayaan orang Togutil, jika ada anggota keluarga yang
meninggal, tempat yang mereka huni selama ini harus ditinggalkan. Mereka harus
mencari lokasi lain dan membangun hunian baru. “Tempat itu sudah tidak baik
lagi dijadikan tempat bermukim mereka. Jadi, kalau ada yang meninggal, mereka
harus berpindah tempat. Tak ada yang dibawa selain perlengkapan dapur. Sebelum
beranjak, bangunan rumah tanpa jendela mereka sengaja dirobohkan. Dengan
kondisi demikian, orang akan tahu jika di lokasi itu ada anggota kelompok yang
meninggal. Secara bersama-sama, sekelompok kecil itu akan pindah dan membangun
kembali hunian baru. Mereka kembali mencari bambu, kayu dan daun-daun rumbia di
sekitar hutan untuk dijadikan rumah. Namun, perpindahan mereka tak jauh dari
lokasi semula. “Mereka memang nomaden, tapi areanya tetap di wilayahnya
Satu lagi yang unik dari Suku Togutil
adalah sistem perkawinan mereka. Adalah sah bagi seorang untuk menikahi atau
dinikahi orangtuanya, dengan kondisi bukan orang tua kandung. Misalnya anak
laki-laki ingin menikahi ibu tirinya, dengan seizin ayahnya, ia bisa melakukannya.
Hal itu umum dilakukan di suku ini. Selain itu, poligami juga dibolehkan di
suku ini
- Asal-Usul
Suku Togutil
Menurut
Sosebeko, (2010), Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang
terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu
berlomba-lomba datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai
menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela
tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat sedang
melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir
Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan
menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya
yang tidak tercatat dalam sejarah.
Orang-orang
Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan
orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian
memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan
daerah Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah
Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang
bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam.
Sebagian dari
mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk menghilangkan
jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha
keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang
Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan
untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang
Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan.
Pada
perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara
berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap
berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera
Utara sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal
ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia
atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan menyantap makanan
mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan mereka
minum langsung dari sungai.
Perawakan suku
Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada umumnya.
Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung.
Anak-anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna
bening-keabuan. Pola hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam.
Makan dari buah-buahan, umbi-umbian, pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil
buruan binatang hutan dan ikan sungai.
-
Sistem
Kepercayaan/agama
Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan
leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah
para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi
bahangarama atau
menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang,
dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin
arwah leluhur berada.
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
Togutil saat ini merupakan perpindahan dari sistim kepercayaan asli yang mulai
ditinggalkan pada akhir tahun 1970an ketika masuknya penyebaran agama Kristen
di daerah Lolobata sebagai wilayah dimana orang Togutil penghuni hutan Tututing
awalnya tinggal. Pengenalan agama ini lebih meningkat lagi sejak adanya proyek
pemukiman kembali masyarakat terasing pada tahun 1970.
- Ritual Suku Togutil.
Pada masyarakat Togutil, upacara yang
sering dilakukan tidak meriah seperti layaknya upacara adat yang sering
dilakukan masyarakat lainnya. Bagi mereka, yang utama adalah makna dari
kegiatan tersebut. Ritual adat yang lazim dilakukan adalah ketika ada salah
satu dari keluarga Suku Togutil yang meninggal dunia, Segala material tersebut
ditinggalkan begitu saja. Hari itu salah satu anggota keluarga mereka ada yang
meninggal. Menurut kepercayaan orang Togutil, jika ada anggota keluarga yang
meninggal, tempat yang mereka huni selama ini harus ditinggalkan. Mereka harus
mencari lokasi lain dan membangun hunian baru. “Tempat itu sudah tidak baik
lagi dijadikan tempat bermukim mereka. Jadi, kalau ada yang meninggal, mereka
harus berpindah tempat. Tak ada yang dibawa selain perlengkapan dapur. Sebelum
beranjak, bangunan rumah tanpa jendela mereka sengaja dirobohkan. Dengan
kondisi demikian, orang akan tahu jika di lokasi itu ada anggota kelompok yang
meninggal. Secara bersama-sama, sekelompok kecil itu akan pindah dan membangun
kembali hunian baru. Mereka kembali mencari bambu, kayu dan daun-daun rumbia di
sekitar hutan untuk dijadikan rumah. Namun, perpindahan mereka tak jauh dari
lokasi semula. “Mereka memang nomaden, tapi areanya tetap di wilayahnya
Satu lagi yang unik dari Suku Togutil
adalah sistem perkawinan mereka. Adalah sah bagi seorang untuk menikahi atau
dinikahi orangtuanya, dengan kondisi bukan orang tua kandung. Misalnya anak
laki-laki ingin menikahi ibu tirinya, dengan seizin ayahnya, ia bisa melakukannya.
Hal itu umum dilakukan di suku ini. Selain itu, poligami juga dibolehkan di
suku ini
- Struktur
dan Ogranisasi Sosial
Orang-orang
Togutil tak mengenal hierarki kepemimpinan. Pada kelompok-kelompoknya, mereka hanya
menjadikan seseorang jadi panutan karena kepiawaian dan kecakapan mereka dalam
berburu dan mengobati orang sakit. Suku Togutil mengenal ritual pengobatan yang
dikenal dengan istilah maidu-idu yang berarti tidur. Dalam ritual ini, seorang
perempuan dijadikan medium untuk mengetahui penyakit dan obat untuk si sakit.
Caranya, perempuan tadi berbaring di atas tempat tidur, lalu ditutupi kain
mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam posisi berbaring dan tertutup
kain itu, tangan si perempuan akan mengetuk-ngetuk tempat tidur dengan irama
tertentu.Irama ketukan tersebut lama kelamaan membuat si perempuan tadi
kerasukan roh halus. “Dari situ dia bisa menyebutkan apa sebab seseorang itu
sakit dan bagaimana cara pengobatannya.
Masyarakat
suku yang hidup di dalam hutan ini masih menggunakan pakaian seadanya. Mereka
hanya menyulap kulit kayu tertentu menjadi kain dan dijadikan cawat. Konflik
antara kelompok pun jarang terjadi. Kalaupun ada,bukan karena alasan perebutan
lahan untuk kekuasaan, karena suku Togutil tidak mengenal istilah kepala suku.
Jika
terjadi konflik, pemicunya terkadang karena penculikan istri atau anak
perempuan dari kelompok satu terhadap kelompok lainnya. Di beberapa wilayah
yang dihuni orang-orang Togutil, hal semacam ini masih kerap terjadi. Karena
itu, untuk menghindari penculikan terjadi, saat mereka pergi berburu, tak
jarang seluruh keluarga mereka diajak serta, walaupun aktivitas perburuan hanya
dilakukan kaum lelaki.
Konflik
antarkelompok jarang terjadi, karena sesungguhnya dari kelompok-kelompok itu
masih memiliki pertalian kekerabatan. Penghuni rimba di belahan utara dan
selatan Halmahera ini kerap masih memiliki marga yang sama, pertanda mereka
masih satu kerabat. “Kerja mereka setiap hari masuk ke hutan melintasi
gunung-gunung. Itu sudah biasa. Jadi, jangan heran kalau hari ini mungkin
menemukan mereka di Halmahera Timur, bulan depan kita temukan mereka di
Halmahera Tengah.
3.2.1 Elemen-elemen
Sistem Sosial
-
Mata Pencaharian
Ketergantungan
mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden. Setelah persediaan
umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan berpindah
ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik
hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati
hutan Halmahera. Bagi masyarakat Togutil yang masih primitive, tidak mengenal
sistem bercocok tanam dan menetap. Sehingga salah satu mata pencaharian andalan
mereka adalah berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan
sagu sebagai sumber karbohidratnya.
Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat
dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta
tanaman tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka
juga sudah dapat menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.
Saat ini
sebagian merupakan petani (Togutil kategori Menetap) dan sebagian lagi masih
tergantung pada hasil hutan meskipun telah mengenal sistim bercocok tanam
(Togutil kategori Menetap sementara). Mata pencaharian tambahan adalah berburu
binatang damar maupun telur maleo untuk dijual atau ditukarkan dengan
penduduk di kampung pada saat hari pasar.
Tingkat pendapatan
penduduk berdasarkan hasil penelitian dilapangan sangat bervariasi yaitu antara
Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Sumber penghasilan umumnya berasal
penjualan hasil buruan atau hasil yang diperoleh dari hutan maupun dari hasil
kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman atau satuan rumahnya. Pendapatan
diatas 500.000 merupakan pendapatan masyarakat Togutil Menetap yang memiliki
profesi sebagai petani kopra maupun usaha sampingan lainnya seperti pedagang
dan tukang ojek.
-
Sistem Kekerabatan.
Orang-orang
Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas. Mereka masih
merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan
saudara-saudara. Syafruddin yang tengah menempuh program magister Antropologi
di Universitas Gajah Mada mengatakan, suku Togutil menganut paham patriarki.
Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok
tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok
suaminya.
Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa
terjadi antara anggota keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada
kelompok kecil ini, biasanya paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga
(KK). Tapi, tak seluruhnya membangun rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK.
Bahkan bisa tiga sampai empat KK. Sehingga satu kelompok hanya membangun
sekitar tiga rumah sajaJalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam
satu upacara makan bersama yang disebutmakkudotaka.
Upacara dilakukan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Upacara ini
dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali ataukah setahun sekali.
Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B, ketika kelompok B
mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau berbagai makanan
enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak. Mereka harus
menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi.
Kelompok
A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk menyiapkan
bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan belum juga
terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. “Pokoknya sampai makanan itu
tersedia, baru dilaksanakan,”. Saat itulah dua kelompok akan bertemu dan
menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara kebersamaan dari
para penghuni rimba Halmahera.
Kehidupan Orang Togutil sesungguhnya amat bersahaja.
Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga
mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada
orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisang, ketela, ubi
jalar, pepaya dan tebu
- Struktur
dan Ogranisasi Sosial
Orang-orang
Togutil tak mengenal hierarki kepemimpinan. Pada kelompok-kelompoknya, mereka hanya
menjadikan seseorang jadi panutan karena kepiawaian dan kecakapan mereka dalam
berburu dan mengobati orang sakit. Suku Togutil mengenal ritual pengobatan yang
dikenal dengan istilah maidu-idu yang berarti tidur. Dalam ritual ini, seorang
perempuan dijadikan medium untuk mengetahui penyakit dan obat untuk si sakit.
Caranya, perempuan tadi berbaring di atas tempat tidur, lalu ditutupi kain
mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam posisi berbaring dan tertutup
kain itu, tangan si perempuan akan mengetuk-ngetuk tempat tidur dengan irama
tertentu.Irama ketukan tersebut lama kelamaan membuat si perempuan tadi
kerasukan roh halus. “Dari situ dia bisa menyebutkan apa sebab seseorang itu
sakit dan bagaimana cara pengobatannya.
Masyarakat
suku yang hidup di dalam hutan ini masih menggunakan pakaian seadanya. Mereka
hanya menyulap kulit kayu tertentu menjadi kain dan dijadikan cawat. Konflik
antara kelompok pun jarang terjadi. Kalaupun ada,bukan karena alasan perebutan
lahan untuk kekuasaan, karena suku Togutil tidak mengenal istilah kepala suku.
Jika
terjadi konflik, pemicunya terkadang karena penculikan istri atau anak
perempuan dari kelompok satu terhadap kelompok lainnya. Di beberapa wilayah
yang dihuni orang-orang Togutil, hal semacam ini masih kerap terjadi. Karena
itu, untuk menghindari penculikan terjadi, saat mereka pergi berburu, tak
jarang seluruh keluarga mereka diajak serta, walaupun aktivitas perburuan hanya
dilakukan kaum lelaki.
Konflik
antarkelompok jarang terjadi, karena sesungguhnya dari kelompok-kelompok itu
masih memiliki pertalian kekerabatan. Penghuni rimba di belahan utara dan
selatan Halmahera ini kerap masih memiliki marga yang sama, pertanda mereka
masih satu kerabat. “Kerja mereka setiap hari masuk ke hutan melintasi
gunung-gunung. Itu sudah biasa. Jadi, jangan heran kalau hari ini mungkin
menemukan mereka di Halmahera Timur, bulan depan kita temukan mereka di
Halmahera Tengah.
3.2.1 Elemen-elemen
Sistem Sosial
-
Mata Pencaharian
Ketergantungan
mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden. Setelah persediaan
umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan berpindah
ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik
hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati
hutan Halmahera. Bagi masyarakat Togutil yang masih primitive, tidak mengenal
sistem bercocok tanam dan menetap. Sehingga salah satu mata pencaharian andalan
mereka adalah berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan
sagu sebagai sumber karbohidratnya.
Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat
dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta
tanaman tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka
juga sudah dapat menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.
Saat ini
sebagian merupakan petani (Togutil kategori Menetap) dan sebagian lagi masih
tergantung pada hasil hutan meskipun telah mengenal sistim bercocok tanam
(Togutil kategori Menetap sementara). Mata pencaharian tambahan adalah berburu
binatang damar maupun telur maleo untuk dijual atau ditukarkan dengan
penduduk di kampung pada saat hari pasar.
Tingkat pendapatan
penduduk berdasarkan hasil penelitian dilapangan sangat bervariasi yaitu antara
Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Sumber penghasilan umumnya berasal
penjualan hasil buruan atau hasil yang diperoleh dari hutan maupun dari hasil
kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman atau satuan rumahnya. Pendapatan
diatas 500.000 merupakan pendapatan masyarakat Togutil Menetap yang memiliki
profesi sebagai petani kopra maupun usaha sampingan lainnya seperti pedagang
dan tukang ojek.
-
Sistem Kekerabatan.
Orang-orang
Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas. Mereka masih
merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan
saudara-saudara. Syafruddin yang tengah menempuh program magister Antropologi
di Universitas Gajah Mada mengatakan, suku Togutil menganut paham patriarki.
Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok
tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok
suaminya.
Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa
terjadi antara anggota keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada
kelompok kecil ini, biasanya paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga
(KK). Tapi, tak seluruhnya membangun rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK.
Bahkan bisa tiga sampai empat KK. Sehingga satu kelompok hanya membangun
sekitar tiga rumah sajaJalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam
satu upacara makan bersama yang disebutmakkudotaka.
Upacara dilakukan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Upacara ini
dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali ataukah setahun sekali.
Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B, ketika kelompok B
mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau berbagai makanan
enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak. Mereka harus
menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi.
Kelompok
A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk menyiapkan
bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan belum juga
terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. “Pokoknya sampai makanan itu
tersedia, baru dilaksanakan,”. Saat itulah dua kelompok akan bertemu dan
menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara kebersamaan dari
para penghuni rimba Halmahera.
Kehidupan Orang Togutil sesungguhnya amat bersahaja.
Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga
mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada
orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisang, ketela, ubi
jalar, pepaya dan tebu.